Saat pikiran tengah tak ingin tuk bekerja rodi, dengan gampangnya imajinasi mengambil alih kendali alat gerak tubuhku. Dan sebuah ingatan kembali meluncur begitu saja, menggugahku untuk menuangkannya ke dalam sebuah kata-kata..
**
Aku menunggunya. Aku menunggu ia yang masih juga belum melangkahkan kaki dari tempatnya berdiri. Ia masih asyik mengobrol, masih enggan untuk beranjak keluar dari ruangan bercat dominan merah itu.
Karena ia tak kunjung bergerak, aku memutuskan untuk keluar seorang diri. Yah, apa gunanya menanti seseorang yang sama sekali tidak menghiraukanmu?
Jadilah aku meninggalkannya, meleburkan sebuah angan yang sempat mampir dalam pikirku. Aku berdiri, angin membelaiku lembut. Aku menatap ke arah jendela kaca bangunan lama itu yang masih menampakkan sosoknya. Hatiku goyah. Haruskah aku pergi dan terus berjalan? Atau, aku harus kembali hanya untuk melihatnya sekali lagi? Namun, saat aku melihat senyum dan tawa ia dan para sahabatnya, aku membatalkan niatku. Bodoh, jika aku berbalik dan berlari hanya untuk mengucapkan selamat tinggal padanya.
Setengah hati aku meneruskan langkahku. Bagaimana mungkin aku bisa terkontaminasi oleh perasaan tak bernama itu? Saat aku mempercepat gerak kakiku, samar-samar aku mendengar sebuah suara yang sudah tak asing lagi di telingaku. Dan suara itu… Ya! Dia! Aku menoleh ke belakang. Ya, ternyata memang ada sosok dirinya yang tengah berjalan bersama tiga kawannya. Mereka hanya berjarak 5 meter di belakangku. Namun, entah mengapa, tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang berdetak begitu kencang dalam ragaku. Aku tersenyum.
Sedetik berlalu, dan aku menyadari bahwa harapan memanglah hanya untuk menjadi harapan belaka. Tak bisa menjadi sesuatu yang diharapkan. Aku kembali menguatkan hatiku, mengubur dalam-dalam emosi bahagia sesaat yang kembali menghampiriku.
Saat aku kembali menyusuri salah satu jalan protokol di Kota Yogyakarta itu, aku kembali terkaget. Kukira, 60 detik lagi ia akan mengambil arah kiri untuk membawanya pulang. Dan saat aku berhasil mencapai tepi trotoar, mengapa kulihat sosoknya berjalan mengikutiku? Ia memang tak sendiri, 3 orang lain yang kukenali sebagai sahabat baiknya tadi pun masih setia berjalan di sampingnya. Namun aku masih belum mempercayai penglihatan mataku ini. Iya, itu memang dia. Itu dirinya.
***
Saat aku hendak berjalan menaiki anak tangga menuju pintu masuk, jantungku berdebar kencang. Ada sesuatu yang bergejolak dalam lambungku, yang entah mengapa membuatku menjadi tergugup dan bertingkah kikuk. Ya, bagaimana tidak, saat itu, dia hanya berjarak 3 petak ubin ukuran 30 x 30 cm dari tempatku berdiri! Wajahnya dapat kulihat dengan sangat amat jelas. Apa ini benar-benar nyata?
Lantai demi lantai kunaiki, dan mereka bertiga tetap mengikuti langkahku. Ini memang sebuah kebetulan, kebetulan yang..agak indah. Dan aku tak tahu kalimat apa yang tepat untuk menggambarkan perasaan tak tentu ku saat ini.
Setelah merasa cukup aman dan tak ada manusia lain yang memperhatikan gerak-gerikku, aku menghamburkan diri ke arah pojok favoritku. Berusaha mendiamkan pikiranku dan memfokuskan diri dengan apa yang ada di hadapanku saat ini. Sebuah karya sastra yang begitu menyentuh, yang membuatku begitu terkesima dengan gaya si penulis dalam merangkai berbagai kosakata antah berantah menjadi sesuatu yang bermakna dan begitu indah.
Belum sempat aku menyelesaikan kekagumanku, perhatianku kembali teralihkan. Oleh..sosok yang sedang bediri tegak di depan jendela kaca ruangan itu. Aku kembali bertanya-tanya..hei, apa yang sedang dilakukan olehnya?
Aku memang tak melihatnya dari jarak yang begitu dekat. Namun, itu dirinya, kan? Ah, iya. Aku yakin, itu pasti dirinya. Entah mengapa, aku bisa sebegitu yakin dengan diriku kali ini. Tapi aku tak peduli.. Yang pasti, itu adalah dia. Kira-kira, apa yang sedang dia pikirkan? Kira-kira, mengapa pandangannya ynag teduh begitu kosong dan tanpa harapan? Kira-kira, mengapa lalu lintas yang tak begitu padat dapat menarik seluruh perhatiannya saat itu?
Dan banyak pertanyaan datang silih berganti mengisi alam pikirku. Aku juga tak tahu menahu tentang jawaban yang tepat untuk semua itu. Mengapa aku tak menanyakan hal itu saja padanya? Oh, sepertinya tak akan mungkin. Aku tak ingin mengganggu saat-saat yang begitu damai untuknya, saat
sepertinya ia tengah mencari jawab dari segala keraguan akan hidupnya, saat langit mendung yang begitu bersahabat menyatukan untaian kata yang tak terkatakan, antara aku, dan dirinya.
***
Ah, sepertinya sebentar lagi titik-titik air kehidupan yang turun dari nirwana akan menjatuhi bumi. Dan, mau tak mau, aku harus menghilangkan ia dari pandanganku. Mengucapkan selamat tinggal yang hanya bisa kuucap dari dalam hati.
Buru-buru aku percepat langkahku, meninggalkan ia yang masih terpaku dan segala tanya yang hingga kini, masih tak ada jawabnya.
Sejenak saja, aku mulai menyusuri jalanan aspal yang telah letih menahan semua beban yang ditimpakan di atas bahunya. Ah, mungkin jalanan beraspal ini pun juga memiliki kesamaan cerita hidup antara aku dan dirinya tadi. Sama-sama lelah akan semua sandiwara yang telah, tengah, dan masih akan bergulir ini.
Aku kembali teringat akan ia. Apa ia masih bertahan di sana? Apa ia masih memandang ke arah yang sama? Dan apabila masih, apa ia..melihat diriku? Aku tertawa kecil. Sarkastik. Mana mungkin, ia melihat diriku yang begitu kecil ini? Tak ada angka probabilitas yang mampu menggambarkan kesangat-amat-tidak-munkingan itu.
***
Aku berdiri. Menyandarkan tubuhku yang begitu rapuh ke arah tembok yang mungkin sama rapuhnya dengan diriku saat itu. Angin yang begitu ramah, membelaiku lembut, membisikkan kalimat pengharapan yang sangat kubutuhkan detik itu. Kemudian saja, bola mataku yang tengah tak begitu ingin tuk berkoordinasi dengan pikiranku, menangkap sebuah bayangan yang seketika itu juga, membuat hatiku terlonjak.
Ternyata, bayangan itu masih sama. Masih berjalan dengan pandangan kosong tanpa harapan, namun memberikan kesan pertama yang begitu teduh untuk dirasakan. Walau terpisahkan jarak, aku merasa mengerti benar akan semua kegelisahan yang sedang ia alami. Perlahan, bayangan itu mulai bergerak menjauh dari jangkauan mataku. Dan sosoknya pun..hilang.
Memang waktu yang sangatlah singkat untuk semua kejadian tak bernilai sore itu. Masih dengan seragam kotak-kotak biru yang melekat di tubuhku, aku menutup mataku sejenak.
Saat angin mendatangiku kembali, aku terbangun dari khayalan sesaatku yang indah. Aku menatap ke arah langit…dan memberikan senyum terbaikku untuknya. Terimakasih, langit senja. Untuk semua peristiwa berharga yang telah kau berikan padaku hari ini.
***
-yasintavania-
February 14th, 2011
No comments:
Post a Comment